Gugurnya Tjokrosoedjono Dalam Agresi Pertama Belanda di Lumajang

Lumajang, Siagakota.net – Pada saat masuknya tentara Belanda dalam agresi I di Lumajang, ditandai dengan gugurnya Assisten Wedana atau Camat Tjokrosoedjono di daerah Ranuyoso.

Ia adalah korban perang pertama di Lumajang dari kalangan sipil. Dalam menjalankan tanggug jawabnya sebagai camat, Tjokrosoedjono gugur saat melakukan inspeksi. Menurut penuturan R.A. Fatimah Tjokrosoedjono, isteri Tjokrosoedjono dalam penyusunan buku ini, Tjokrosoedjono meninggalkan rumah kontrakannya di Ranuyoso pada jam 19.00 dengan mengenakan seragam dinas.

Sebelumnya, Tjokrosoedjono mendapat kabar dari Kantor Assistenan Ranuyoso bahwa ada kerusuhan di daerah perbatasan Lumajang-Probolinggo yang diperkirakan adalah datangnya pasukan Belanda. Kakak kandung Soekertijo ini langsung berpamitan dengan isterinya, yang pada waktu itu sedang hamil 3 bulan, anak pertama dan satu-satunya.

Sebelum meninggalkan rumah, Tjokrosoedjono berpesan agar sepeda pancal yang biasanya dipergunakan dinas dan perjalanan ke Lumajang, agar tidak dipinjamkan kepada siapapun. Setelah itu, Tjokrosoedjono mengunci pitu rumah dari luar, menuju Kantor Assistenan yang jaraknya tidak terlalu jauh, dengan berjalan kaki. Satu jam setelah kepergian Tjokrosoedjono, terdengar letusan senjata api. Ibu Fatimah langsung menduga bahwa letusan senjata itu telah mengenai suaminya.

Namun, ia bersama pembantunya yang bernama Santimah tidak berani keluar rumah untuk memastikan perkiraannya itu. Sekitar jam 21.00 terdengar suara pintu diketuk dengan keras oleh orang tak dikenal. Karena takut, Fatimah membuka pintu dengan kunci cadangan. Pria tak dikenal itu menanyakan keberadaan Tjokrosoedjono dan berniat meminjam sepeda pancal.

Tidak ada pilihan lain bagi Fatimah untuk memberikan satu-satunya “kendaraan” yang dimiliki suaminya itu.
Hingga pagi hari, kekhawatiran Fatimah semakin memuncak, karena suaminya tidak kunjung pulang. Sedangkan di luar rumah, puluhan warga telah berbondong-bondong membawa perbekalan seadanya untuk mengungsi. Sekitar jam 08.00, datanglah salah satu warga yang mengabarkan Tjokrosoedjono telah gugur.

ket : Tjokrosoedjono, korban pertama dalam Agresi Pertama Belanda di Lumajang 1947
ket : Tjokrosoedjono, korban pertama dalam Agresi Pertama Belanda di Lumajang 1947

Baru sekitar jam 11.00, jasad Tjokrosoedjono diantar oleh warga setempat, dengan menggunakan gerobak kayu kecil, sehingga kaki almarhum terjulur keluar. Tidak mampu menahan kesedihan, almarhum dimandikan oleh warga setempat. Setelah dimandikan, Fatimah berusaha melihat suaminya untuk terakhir kalinya. Dari leher jenazah, terlihat satu lubang bekas tembakan yang masih mengeluarkan darah hingga jenazahnya dikafani. Jenazah akhirnya dimakamkan di areal lahan kosong di belakang Kantor Assistenan Ranuyoso.

Fatimah ditengah kesedihannya, bersama pembantunya akhirnya turut mengungsi di daerah Ranu Klakah dan bergabung dengan PMI, memberikan pertolongan korban pertempuran. Setelah hampir satu minggu berada di pengungsian, ia bersama pembantunya dijemput oleh pamannya, yang juga bergabung dalam organisasi PMI.

Kemudian Fatimah tinggal di rumah orang tuanya di daerah Jogotrunan. Selama masa agresi I dan II, beberapa kali adik iparnya yakni Soekertijo berkunjung secara diam-diam, karena patroli Belanda kerapkali dilakukan. Perbekalan makanan seadanya, seringkali diikutsertakan untuk sekedar penahan lapar. Beberapa kali pula, Fatimah mencuci baju Soekertijo yang lusuh dan berbau anyir darah. Fatimah mengisahkan, pedang pendek Soekertijo yang selalu dibawa, selalu berlumuran darah hingga sulit dibersihkan.

Beruntung pula Fatimah sangat memahami dan mampu menggunakan bahasa Belanda. Pada saat tentara KNIL melakukan penggeledahan untuk mencari Soekertijo, Fatimah sempat menghardik pasukan KNIL itu dengan bahasa Belanda, saat pasukan pengkhianat itu ingin merampas kotak perhiasan miliknya, dan mengancam akan melaporkannya kepada polisi Belanda. Takut dengan ancaman itu, dan terlebih dengan menggunakan bahasa Belanda, akhirnya rombongan pasukan KNIL itu meninggalkan rumah Fatimah.

Hingga Soekertijo menjabat sebagai Pangdam, beberapa kali sempat menjenguk Fatimah yang tinggal bersama anaknya di Pasuruan. Fatimah berkeyakinan bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan memang tidak hanya cukup dengan pengorbanan darah dan nyawa saja. Apapun akan dikorbankan, asal tercapai kebebasan yang disebut dengan kemerdekaan.[Klik.6]

Related Posts

Komunitas Pegiat Sejarah Jawa Timur Mengupas Sejarah Kereta Api Terakhir Melalui Drama Teatrikal

Surabaya, Siagakota.net– Stasiun Surabaya Gubeng memang memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya pada pertempuran 17 November 1945 di Surabaya. Pertempuran itu dikenal sebagai salah satu pertempuran besar…

Gedung Tua Yang Tetap Menyimpan Misteri

Surabaya, Siagakota.net- Jika Anda berkunjung ke Surabaya dan melintasi Jalan Banyu Urip Wetan l A No.107, RT.001/RW.06, Banyu Urip, Kec. Sawahan, Kota SBY, Jawa Timur pasti akan melihat bangunan tua…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You Missed

Rujak Cingur Dapoer Mimi Rasanya Mantap Harga Bersahabat

Rujak Cingur Dapoer Mimi Rasanya Mantap Harga Bersahabat

Bakso dan Mie Ayam Seger Hadir di Perumahan GKR Kedamean

Bakso dan Mie Ayam  Seger Hadir di Perumahan GKR Kedamean

Sampaikan Pesan Kartini untuk Pelajar, Kapolsek Sukorejo Jadi Pembina Upacara di SMKN 1

Sampaikan Pesan Kartini untuk Pelajar, Kapolsek Sukorejo Jadi Pembina Upacara di SMKN 1

Menguatkan Kolaborasi untuk Kemajuan Bersama, Pemkab Sidoarjo Bersinergi Bersama TNI AL

Menguatkan Kolaborasi untuk Kemajuan Bersama, Pemkab Sidoarjo Bersinergi Bersama TNI AL

Polres Nganjuk Optimalkan Pelayanan dan Harkamtibmas Melalui Command Center

Polres Nganjuk Optimalkan Pelayanan dan Harkamtibmas Melalui Command Center

Pemkab Sidoarjo Kawal Pembentukan Kopdes Merah Putih

Pemkab Sidoarjo Kawal Pembentukan Kopdes Merah Putih