
Lumajang, Siagakota.net – Kompi Soewandak, di era pergerakan mempertahankan kemerdekaan RI dikenal sangat berani, cerdik dan keras hati. Seluruh anggota yang dipimpinnya, memiliki kemampuan gerilya yang handal untuk mengacau kekuatan Belanda. Bahkan kerap kali pasukannya yang terdiri dari berbagai elemen, mulai dari guru, pegawai, barisan pemuda dan bahkan gerombolan maling, dilatihnya untuk menjadi pasukan gerilya. Kekuatan pasukan Kompi Soewandak ini, tidak lepas dari pengalaman Soewandak dalam mendan pertempuran. Kerap mempergunakan nama yang berbeda untuk menyamarkan posisinya dari intaian Belanda. Di Klakah, Soewandak dikenal dengan nama Haris.
Pada tahun 1945, Soewandak sudah diangkat menjadi anggota TKR dengan pangkat Letnan Dua dengan jabatannya sebagai Ketua Seksi Mortir, dan beberapa kali ditugasi berada di garis depan dalam pertempuran di Surabaya maupun Sidoarjo. Hanya dalam beberapa bulan ditugasi di sejumlah kompi, setahun kemudian, Soewandak sudah diberikan kepercayaan menjadi Komandan Kompi dengan pangkat Kapten.
Kompi Soewandak, awalnya bermarkas di Sukodono bergabung dengan Batalyon 2 Reseimen 39 sampai dengan masuknya tentara Belanda dalam agresi pertama tanggal 21 Juli 1947. Karena Pasukan Belanda menyerbu Lumajang, Kompi Soewandak akhirnya berpindah-pindah tempat. Tetapi, kegiatan gerilyanya lebih banyak dilakukan di daerah utara, mulai Ranuyoso, Randuagung, Klakah, dan daerah sekitarnya. Berbagai pertempuran telah dilakukan Kompi Soewandak dalam melawan Belanda.
Ketika Pasukan Belanda dengan kekuatan pasukan brigade marinir memasuki Lumajang, Kompi Soewandak adalah pasukan yang pertama kali mlakukan penghadagan, meski saat itu pasukannya terpaksa mundur karena kalah kekuatan. Tetapi Kompi Soewandak memberikan andil yang besar dalam menghambat gerak pasukan Belanda.
Soewandak memberikan perintah kepada anggotanya, Kopral Pangat untuk melakukan penghambatan dengan menebang pohon di sepanjang jalan Ranuyoso sampai Klakah dan kemudian menempatkan kayu-kayu tebangan tersebut melintang jalan. Sayangnya, tentara Belanda telah mempersiapkan kemungkinan penghadangan tersebut. Dengan buldozer, hambatan pohon dapat ditangani dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama.
Selanjutnya Letnan Satu Soewandak tetap berjuang keras melakukan sejumlah penyerangan, setelah Lumajang berhasil dikuasai Belanda. Markas-markas pertahanan tentara Belanda di Klakah dan Ranuyoso beberapa kali diserang pasukan Soewandak. Sewaktu pasukannya mendirikan pos pertahanan di Krasak, Soewandak berhasil meyakinkan warga untuk ikut bersama-sama berjuang bersama kompinya. Saat itu, ada sekitar 90 orang yang tergabung dalam kompi ini. Meski hanya memiliki kemampuan militer yang terbatas dan senjata 25 pucuk saja, perlawanan Kompi Soewandak tetap efektif.
Daerah hutan dan pegunungan turut membantu Kompi Soewandak mendirikan pos-pos pertahanan untuk selanjutnya melakukan penyerangan di malam hari. Namun jika ada celah, Soewandak bersama pasukannya juga melakukan penyerangan di siang hari, sekedar untuk membuktikan eksistensi kekuatan tentara Indonesia kepada masyarakat. Karena keuletan dan kegigihan Kompi Soewandak, kompi ini menjadi target utama tentara Belanda. Soewandak memiki strategi yang handal seperti hit and run, serangkaian serangan menimbulkan kerugian besar bagi pihak tentara Belanda. Markas pertahanan Soewandak selalu pindah-pindah, mulai di Duren, Ranuyoso dan bahkan di daerah kompi lain ketika melakukan penyerangan bersama-sama.
Haris Soewandak, dikenal sebagai Komandan yang memiliki kemampuan Zeni Pioner dengan senjata teki danto, atau sejenis mortir kecil dan ia pernah ditugasi untuk menghancurkan jembatan Gladak Perak, pada saat agresi Belanda I di Lumajang. Sayangnya jembatan itu tidak berhasil dirobohkan, akibat minimnya perlengkapan. Jembatan Gladak Perak baru berhasil diruntuhkan oleh pasukan Zeni Pioner 22 Jatiroto dan hasilnya cukup efektif menghadang penyerbuan tentara Belanda yang akan melakukan penyerbuan di daerah Pronojiwo.
Soewandak juga pernah mengalami luka yang cukup parah, ketika ia bersama anggotanya berlatih menggunakan senjata mortir. Pada saat latihan, mortir yang dipergunakan tiba-tiba meledak dan melukai pasukannya sendiri, akibat pelontarnya terlalu panas. Akibatnya, 3 orang pasukannya tewas, 17 luka-luka termasuk Soewandak. Ia terpaksa menjalani perawatan satu bulan lamanya di Yogyakarta.
Dalam melakukan koordinasi dengan pasukannya, Soewandak selalu dibantu oleh ajudan setianya, yakni Serma Zein Faqih, yang berasal dari kesatuan Hizbullah. Melalui Zein, Soewandak dapat melakukan komunikasi dengan pasukan dan rakyat, karena ia kurang memahami bahasa Madura (bahasa keseharian warga Klakah dan Ranuyoso waktu itu).
Kompi Soewandak dalam masa pergerakan melawan Belanda, banyak menjalankan tugas khusus yakni penyelidikan, aksi penghadangan dan pengrusakan terhadap fasilitas vital pertahanan tentara Belanda. Namun sayangnya, perjalanan perjuangannya tidak berlangsung lama. Ia gugur dalam usia yang relatif muda dan belum berkeluarga. Ia juga tidak memiliki sanak famili di daerah Lumajang.
Menurut kesaksian Bu Sukri, juru masak di dapur umum Kompi Soewandak, tepatnya pada tanggal 27 Juni 1949 atau 1 Ramadhan, Kompi Soewandak mengalami penyerbuan yang hebat oleh pasukan Belanda, ketika tempat persembunyianya di dusun Prigi Sumber Petung-Ranuyoso diketahui Belanda. Serangan Belanda dilakukan pada jam 11 siang. Dalam kondisi terjepit, Soewandak menghadapi serangan Belanda seorang diri hanya dengan bersenjatakan pistol, hingga kemudian aminusinya habis.
Ia memerintahkan seluruh pasukan kompinya untuk menyelamatkan diri dan masuk ke daerah hutan. Ia berupaya untuk menghambat pengejaran Belanda, dengan resiko yang sangat besar. Soewandak memang dikenal kebal peluru, karena dalam beberapa penyerangan, Soewandak tidak mengalami luka apapun meski baju dan mantelnya banyak berlubang akibat terjangan peluru Belanda.
Namun takdir menentukan lain. Pada saat amunisinya habis, ia sengaja tidak lari dan berniat melakukan penyerangan tanpa senjata api dari jarak dekat. Pasukan Belanda yang dibantu oleh KNIL dan Cakra tidak mau mengambil resiko dan segera melemparkan nanas (granat) pada saat Soewandak, saat sedang bertiarap di dekat sebuah batu besar.
Percikan mesiu dari granat inilah yang akhirnya membakar bagian dadanya, sehingga akhirnya ia tidak berdaya lagi. Dalam pertempuran tidak seimbang itu, celana bagian atas yang dikenakan Soewandak banyak berlubang. Namun tidak ada bagian kakinya yang terluka sama sekali.
Pertempuran seorang diri itu berlangsung selama dua jam, hingga jam 13.00. Kemudian pada jam 15.00, Serma Zein Faqih di tempat yang sama, berhasil ditangkap dan dibunuh secara keji oleh pasukan KNIL.
Soewandak adalah prajurit yang sangat berwibawa. Meski Bu Sukri termasuk kalangan sipil yang sering bertemu dengan Soewandak, namun tidak pernah sekalipun ia berani memandang wajah Soewandak karena takut.
Ia merawat para gerilyawan khususnya Kompi Soewandak selama 7 bulan, karena Bu Sukri adalah petani yang cukup kaya, memiliki sawah yang luas dan persediaan beras yang berlimpah. Meski pasukan Kompi Soewandak jarang bermalam, namun Bu Sukri menyediakan tiga rumahnya untuk keperluan tentara, utamanya untuk dapur umum dengan dibantu oleh warga sekitar. Hewan ternak yang ia miliki seperti ayam dan bebek, seolah tidak pernah habis disembelih untuk lauk pauk tentara gerilya.
Namun tidak jarang pula, ia mendapat tugas mengantarkan surat rahasia dari Kompi Soewandak kepada salah satu pemilik toko kelontong, yang merupakan warga keturunan (Cina) di daerah pasar Klakah. Setelah menyampaikan surat rahasia, Cina pemilik toko memberikan bungkusan tertutup. Karena takut dirazia tentara Belanda, Bu Sukri meletakkan bungkusan itu di bagian bawah keranjang, lalu ditumpuk oleh bahan makanan yang ia beli dari pasar. Setelah beberapa waktu, pasukan Kompi Soewandak mengambil bungkusan itu. Bu Sukri baru mengetahui isi bungkusan itu setelah beberapa kali menjadi kurir, yang ternyata berisi senjata, amunisi dan perbekalan perang lain.

Pada waktu gugurnya Soewandak dan Zein Faqih, Bu Sukri tidak ikut menyelamatkan diri, karena ia bersikeras untuk mengikuti Soewandak. Pada saat gugurnya Soewandak, ia bersama Zein Faqih bersembunyi di balik batu besar, sehingga ia tahu persis bagaimana Soewandak gugur terkena granat.
Setelah itu, Zein Faqih berupaya untuk menyelamatkan Soewandak. Namun naas, kedatangannya diketahui pasukan Belanda, dan berondongan peluru mengenai dadanya sehingga Zein Faqih turut gugur. Demikian halnya dengan Bu Sukri, yang diketahui bersembunyi di balik batu besar. Ia langsung diintrograsi tentara Belanda, dan diketahui bahwa ia adalah penyedia logistik bagi pasukan gerilya. Tiga rumahnya yang biasa ditempati tentara gerilya, langsung dibakar, dan Bu Sukri ditawan selama satu bulan lebih di penjara markas Belanda di Klakah.
Setelah kedaulatan Indonesia kembali, barulah Bu Sukri dibebaskan. Namun karena sudah tidak memiliki apa-apa lagi kecuali baju yang ia kenakan, Bu Sukri tinggal bersama saudara-saudaranya hingga ia menceritakan kesaksiannya ini. Seringkali, pada saat perang berlangsung, ia ditawari oleh teman-teman sekampungnya untuk ikut Belanda.
Namun ia tetap bersikukuh untuk mendukung Merah Putih, karena ia sangat yakin bahwa suatu saat, Merah Putih akan menang dan siapapun yang membujuknya untuk ikut Belanda, juga akan tunduk kepada Merah Putih. Seandainya akan ada lagi perang seperti yang terjadi saat itu dan meski sudah lanjut usia, ia akan berada di garis depan untuk membela Merah Putih.(klik6)