
Lumajang,siagakota.net- Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) Kabupaten Lumajang, prihatin dengan peredaran Gula Kristal Rafinasi (GKR) di wilayah Lumajang dalam skala besar.
Masuknya gula rafinasi dalam jumah besar merugikan petani tebu lokal dan mengancam keberlangsungan industri gula berbasis rakyat.
Plt Ketua APTR kabupaten Lumajang, Edi Sudarsono ST menjelaskan, GKR yang seharusnya hanya digunakan untuk kebutuhan industri makanan dan minuman, kini mengancam harga gula lokal dari petani tertekan dan sulit bersaing.
” saya menyayangkan peredaran gula rafinasi yang tidak sesuai peruntukannya, ini jelas merugikan petani tebu yang sudah bersusah payah menanam dan memanen, tapi hasil panennya tidak laku dengan harga layak,” katanya kecewa.
Memang dampak dari gula Rafinasi ke petani tebu khususnya, itu sangat berdampak juga dengan lemahnya penyerapan gula petani ke konsumen.
” kemungkinan besar harga gula Rafinasi atau yang sejenisnya itu di pasaran dijual dibawah harga gula kristal lokal, jadi penyerapan gula petani lokal sangat terhambat sekali,’ keluhnya.
Dilanjutkan olehnya, gula petani sampai saat ini menumpuk hampir 1 bulan lebih, tidak ada pedagang besar maupun menengah membeli di HPP sebesar Rp 14.500”, ujar Edi Sudarsono.
“Kepada pemerintah kami berterimakasih sekali yang sudah mau menyerap gula petani sebesar Rp 14.500, yang dananya diambilkan dari dana Danantara,” terangnya.
Memang kita harus bersabar, karena dana kalau dari pemerintah itu prosesnya agak lama.
” dari pihak petani setiap harinya membutuhkan biaya operasional berupa tebang muat angkut,” tukasnya.
Dia selaku Plt ketua APTR PG Jatiroto mengharapkan rembesan-rembesan gula Rafinasi itu agar segera hilang atau tidak ada dahulu.
” stok jumlah gula nasional kita itu untuk saat ini masih panen raya”, tambahnya.
Ditegaskan, saat ini stok gula masih banyak, terutama di gudang-gudang PG milik petani.
“Jadi intinya kami mengharapkan kerjasama yang baik, pada waktu panen raya tebu agar semua gula Rafinasi atau sejenisnya tidak beredar.Sehingga penyerapan gula lokal terserap di konsumen dengan baik,” tegasnya.
Kalau tidak diperhatikan itu nanti dampaknya gula natura yang 10% atau 5% itu juga tidak laku Rp 14.500 di pedagang.
“Ini yang menjadi problem kita saat ini adalah masih di problem penyerapan gula, sesuai HPP atau HAP sebesar Rp 14.500,” tambahnya.
Sedangkan perluasan tebu kita baik wilayah Lumajang atau lainnya sudah signifikan sekali.
“sudah semakin banyak petani memperluas lahan tebunya”,imbuhnya.(klik8)